Sabtu, 05 Februari 2011

Di Sepanjang Usia Muda Kita

Inilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mengisahkan sepenggal suasana dari suasana-suasana Mahsyar. Hari itu, jarak matahari tidak lagi dihitung puluhan kilometer dari bumi, tapi bahkan lebih dekat lagi. Siapapun bisa menerka betapa dahsyatnya terik panas itu. Hingga kucuran keringat mampu menenggelamkan pemiliknya. Sampai ada yang berharap, jika memang dirinya penghuni neraka, minta untuk segera dimasukkan saja ke sana, karena sudah tidak tahan merasakan bara panas daratan Mahsyar.

Sebuah persangkaan keliru memang. Namun ini cukup menggambarkan kedahsyatan suasana di padang luas itu, pada hari itu. Tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dalam suasana semacam itu, ’menghembuskan’ kabar menyejukkan ke dalam dada setiap sahabat, yang telah merasakan manisnya keimanan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkisah akan hari itu, bahwa ternyata ada hamba, yang justru menikmati keteduhan dan sejuknya bernaung di bawah ’arsy Allah 'azza wa jalla. Tentu mereka yang merasakan itu, bukan orang sembarangan. Tapi mereka adalah hamba pilihan, yang memang dikenal kedekatan mereka dengan Rabbnya.

Tujuh kriteria hamba yang disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yang akan mendapatkan keutamaan zhilâl (naungan) itu, sebelum mereka bernikmat-nikmat di dalam jannah-Nya. Satu diantaranya,

”Pemuda yang tumbuh dengan senantiasa beribadah kepada Allah.”
Inilah berita langit yang menggembirakan itu, yang disambut begitu antusias oleh para pemuda, pemilik iman dan ketakwaan saat itu.

Lalu, di sepanjang usia muda kita.........

Telahkah kita turut bergembira dengan kabar wahyu ini? Adakah jiwa kita terbawa ke suasana Mahsyar, ’mencoba’ merasakan kengeriannya, lalu kita pun menyibukkan diri dengan persiapan menuju ke sana, agar nantinya kita termasuk satu dari tujuh kelompok yang diistimewakan itu?

Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Rabbnya.

Semoga saja, pemuda itu adalah kita. Pemuda yang bernikmat-nikmat dalam ibadah. Yang memuaskan batinnya dengan ibadah. Ibadah apapun, sepanjang itu dicintai dan diridhai Allah shallallahu 'alaihi wasallam. Atau setidaknya, ada cita-cita yang dibarengi usaha menuju ke sana. Sedikit demi sedikit.

Ini, teramatlah penting untuk kita perhatikan. Karena masa muda yang tidak dipuaskan dalam ibadah, tentu kelemahan fisik di masa tua, semakin menghalangi kita dari ibadah tersebut. Berpuas-puas dengan ibadah, di sanalah keimanan menemukan manisnya. Letih memang di awalnya, tapi di ujungnya, manis dan sejuk yang terasa memenuhi relung jiwa. Jika sudah begini, bukankah di sini letaknya kebahagiaan?

Ketika hari ini, pikiran kita dicemari, diajarkan bahwa kebahagiaan hanya didapatkan dengan memuaskan hawa nafsu. Ketika hari ini, kita dibiasakan mencari kebahagiaan di jalan-jalan dosa dan kemaksiatan. Tibalah masanya, untuk menyadari bahwa kita ternyata ditipu. Sekaranglah waktunya, memahami bahwa hakikat kebahagiaan hanya kita dapatkan di atas jalan ketakwaan.

Di atas jalan ini, kita diingatkan, jelmaan kebahagiaan bukan pada menumpuknya simpanan harta, atau di atasnya kedudukan sosial kita, atau ketika dikelilingi wanita-wanita cantik nan menarik. Bukan di sana letaknya kebahagiaan. Dan bukan ke sana kita mencarinya.

Di atas jalan ini, kita diajari, semakin kita mendekat kepada Allah -'azza wa jalla-, semakin ia begitu terasa kehadirannya. Demikianlah, ketetapan Allah 'azza wa jalla- yang berlaku bagi hamba-Nya.

Memang, tidak mudah meraihnya, sebab ia barang termahal kehidupan. Dan ia, sepenuhnya milik hamba yang dipenuhi dadanya dengan keimanan, yang selalu menghamba kepada Allah Rabbul ’Izzah. Karenanya, ia tidak berujung seiring berhentinya menghirup nafas kehidupan. Bahkan terus, hingga kaki menapak masuk ke dalam jannah-Nya.

Berbeda orang yang kufur kepada Rabbnya, atau yang menyia-nyiakan hidupnya di jalan panjang kemaksiatan. Mungkin juga sempat merasakan kebahagiaan itu. Tapi tidak berapa lama. Sedang di akhirat, siksaan dan azab yang keras, hanya itu yang diterima.
Padahal, akhirat itulah yang kekal. Dan perjalanan ke sana lebih membutuhkan perbekalan.Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya,
"Dan berbekallah, sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS. Al-Baqarah: 197).

Karenanya, ketika Allah subhanahu wa ta'ala menunjukkan kita jalan untuk merasakan manisnya keimanan, jangan pernah menyia-nyiakannya. Meskipun berhadapan dulu dengan berlapis-lapis ujian. Firman Allah subhanahu wa ta'ala, artinya,
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ’kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. al-’Ankabut: 2-4).

Ketika keimanan kita diuji, dengan bertebarannya aurat wanita yang bebas dinikmati kapan saja. Ketika bara syahwat mendidih-didih, lalu peluang melampiaskannya terbentang luas di depan mata.Ketika ukhti kita telah memahami akan wajibnya hijab syar’i, lalu larangan justru datang dari orang yang paling dicintainya; orang tua mereka. Ketika istiqamah semakin terasa sulit di saat-saat sendirian, sedangkan keimanan bisa saja tergadaikan dengan kesenangan dunia yang menggiurkan. Ingatkan hati kita akan indahnya kesabaran. "Fashbir shabran jamîlan", maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang baik. Dan pahamilah, kita tak sendirian dalam ujian. Hanya saja tingkatan ujian itu tak sama untuk setiap hamba. Ia bergantung setinggi mana takwa dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Karenanya, ucapkanlah apa yang diucapkan Nabiyyullah Ya’qub, "fashabrun jamîl", maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).

Memang, ujian itu berat bagi hati. Bahkan kadang terlampau berat, di sela-sela kita menapaki jalan kehidupan. Jika sudah begini, bisikkan ke hati dan telinga kita; beginilah cara Allah menunjukkan cinta-Nya kepada sang hamba.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya:
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah: 45,46).

Di ayat yang lain Allah subhanahu wa ta'ala mengabarkan, artinya,
"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar." (QS. Fushshilat: 35).

Rasululullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,yang artinya:
"Dan siapa yang menyabarkan dirinya, Allah pun akan memberinya kesabaran. Dan tidak ada karunia yang lebih baik dan lebih lapang, yang diberikan kepada seseorang, melebihi kesabaran." (HR. Bukhari dan Muslim).

Kita punya banyak teladan dalam sejarah. Petiklah hikmah dari mereka, yang kesabaran menjadi penolongnya dalam mempertahankan keimanan. Bacalah kisah-kisah para nabi, orang-orang shiddîq, para syuhadâ dan shalihîn, yang memiliki kesabaran berlipat-lipat. "Ridhwânullâh ’alaihim jamî’an". Ridha Allah atas semua mereka.

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu), dan bertakwalah kepada Allah, pasti kamu beruntung." ( QS. Ali ’Imran : 200).

Yasir sekeluarga, radhiyallahu 'anhum, satu teladan tentang kesabaran yang hidup subur dalam dada sahabat Rasulullah. Tekanan mental dan siksaan raga, bahkan semakin menambah keyakinannya; kesabaran ternyata ’jalan pintas’ menuju surga. ”Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Balasan bagimu adalah surga,” begitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meyakinkan sahabat beliau yang mulia ini.

Karenanya, jika ujian semakin berat terasa, semoga kitalah pemilik keimanan yang tengah diuji oleh Rabb kita; Allah subhanahu wa ta'ala. Semoga juga, cerita kepemudaan kita, tidak lain ia tumbuh di atas jalan-jalan kebaikan, dengan hanya mengharap ridha, ampunan dan pahala di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Âmîn. Wallâhu al-Muwaffiq.

Jumat, 04 Februari 2011

Andai Engkau Tahu Siapa Aku Sebenarnya

Betapa seringnya kita merasa bangga ketika melihat begitu banyaknya orang yang membutuhkan kita. Saat kita menyaksikan orang-orang berkumpul di sekeliling kita, betapa bangganya jiwa ini. Padahal –kita sendiri menyadari bahwa- orang-orang itu sesungguhnya tidak mengetahui siapa dan bagaimana diri kita yang sesungguhnya. Dan yang membuat segalanya semakin parah –kita pun seperti selalu berusaha menampilkan berbagai bentuk dan rupa kepalsuan. Menampilkan kekhsyu’an padahal sesungguhnya tidak khusyu’. Berlagak seperti ahli dzikir, padahal hati selalu lalai mengingat Allah. Dan orang itu bukan siapa-siapa. Dialah kita.

Kaum shaleh terdahulu yang hampir tidak bisa diragukan lagi keshalehannya seringkali mengungkapkan kekhawatirannya akan dirinya sendiri. Bila kita meluangkan waktu untuk membaca jejak-jejak keshalehan mereka, rasanya kita sulit untuk mengerti mengapa mereka masih saja sangat khawatir amal mereka tidak diterima oleh Allah. Mengapa mereka masih saja selalu berperilaku seolah-olah merekalah para penghuni neraka. Jilatan dan kobaran api neraka seperti begitu dekat…

Padahal sesungguhnya bila kita mengerti, kita sama sekali tidak perlu heran. Itulah tanda utama kesalehan seorang hamba. Bila engkau selalu merasa khawatir amalmu tidak diterima, maka bersyukurlah. Sebab terlalu banyak manusia yang memandang Allah sebagai Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, namun lupa bahwa Ia juga Maha Perkasa dan Mahadahsyat siksaan-Nya. Saat ia tenggelam dalam kemaksiatan dan kedurhakaan, ia membayangkan bahwa Allah itu Maha Pengampun, dan lupa bahwa Ia tidak menyukai dan akan menghukum para pendurhaka. Dan –lagi-lagi- orang itu bukan siapa-siapa. Dia adalah kita sendiri.

Sepanjang sejarah memang selalu begitu yang terjadi. Semakin shaleh dan dekat seorang hamba dengan Allah, semakin takut dan khawatirlah ia bila cintanya ditolak oleh sang kekasih. Dan semakin durjana seorang makhluk, semakin optimislah ia bahwa kedurjanaannya itu pasti diampuni oleh Allah. Padahal ia tidak mengantongi secuil jaminan pun akan hal itu. Sangat jauh berbeda dengan shahabat-shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang jelas-jelas telah ‘mengantongi’ jaminan masuk surga. Anda tentu tahu siapa itu Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar Al-Faruq dan ‘Utsman ibn ‘Affan. Mereka adalah beberapa sosok shahabat yang telah ‘mengantongi’ jaminan itu. Lalu bacalah perjalanan hidup mereka sesudah memperoleh jaminan surga itu. Tidak sekalipun mereka berleha-leha dalam beribadah. Jaminan itu justru semakin membuat mereka semakin meluap-luap untuk berjumpa dengan Rabb mereka. Duhai, alangkah pandirnya kita.

Suatu ketika, Jubair ibn Nufair mendengarkan do’a yang diucapkan oleh shahabat mulia Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhum di akhir shalatnya. Anda tahu do’a apa yang beliau panjatkan? ‘Audzubillahi minan nifaq (Aku berlindung kepada Allah dari sifat munafik). Ya, seorang shahabat seperti Abu ad-Darda’ begitu takut terhadap kemunafikan. Itulah sebabnya, -masih menurut penuturan Jubair ibn Nufair- beliau mengulang-ulangi do’a itu.

“Duhai tuan, ada apa antara Anda dengan kemunafikan?” tanya Jubair kepadanya.
“Sudahlah, engkau tidak usah mencampurinya. Demi Allah! Sesungguhnya seseorang itu dapat berubah-ubah dan berbolak-balik agamanya dalam satu jam, hingga akhirnya agama itu tercabut darinya!” jawab Abu ad-Darda’.

Seorang ‘alim bernama Yusuf ibn Ahmad Asy-Syairazy mengisahkan tentang salah seorang gurunya yang dikenal dengan Abu Waqt. Sang guru ini dikenal sebagai salah satu ahli hadits yang telah melakukan pengembaraan panjang untuk menyelami hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bahkan digelari sebagai ruhlah ad-dunya; sang pengembara dunia. Simaklah penuturan Yusuf Asy-Syairazy tentang guru yang satu ini:
“…Allah akhirnya menakdirkan aku bertemu dengan beliau di negeri bernama Kirman. Saat aku pertama berjumpa, kuucapkan salam kepadanya lalu aku mencium (kepala atau pundaknya). Kemudian aku duduk bersimpuh di hadapan beliau. Tidak lama kemudian, beliau bertanya padaku:

“Apa yang membuatmu datang ke negeri ini?”
Aku menjawab: “Engkaulah yang menjadi maksudku, tuanlah sandaranku setelah Allah Ta’ala. Aku telah menulis hadits-hadists yang engkau riwayatkan dengan penaku, namun aku tetap berusaha menemui tuan dengan kedua kakiku agar aku bisa mendapatkan keberkahan nafas-nafas tuan dan mendapat sanad tuan yang lebih tinggi.”
Beliau kemudian berkata: “Semoga Allah memberikan taufiq dan keridhoan kepadaku dan kepadamu. Semoga Ia menjadikan segala upaya kita adalah karena-Nya. Semoga Ia menjadikan tujuan kita hanyalah pada-Nya. Duhai, seandainya saja engkau mengetahui aku dengan sebenar-benarnya, niscaya engkau tidak akan mau mengucapkan salam padaku. Niscaya engkau tidak akan sudi duduk di hadapanku…”

Beliau kemudian menangis. Lama sekali. Hingga membuat semua yang hadir pun turut menangis. Lalu beliau melanjutkan ucapannya, “Ya Allah! Tutupilah aib-aib kami dengan perlindungan-Mu Yang Mahaindah, dan jadikanlah apa yang ada di bawah perlindungan-Mu itu sesuatu yang Engkau ridhai untuk kami…”.

Itulah yang dikatakan oleh sang ‘alim pengembara dunia itu. Lalu apakah gerangan yang patut kita ucapkan dengan segala kelalaian kita? Katakanlah kepada siapapun yang mencoba mengagumi dan memuji kita: “Saudaraku, andai engkau tahu siapa aku sebenarnya…”. Lalu tangisilah diri sendiri.

Demikianlah salah satu nilai penting yang diwariskan generasi salaf kepada kita. Kesadaran dan kepekaan terhadap diri sendiri. Jangan pernah menjadi ‘ujub dan kagum pada diri sendiri. Intinya, tahu dirilah!